2:05 AM -
Ilmu Pengetahuan Umum
No comments


Tinjauan Sejarah dan Filsafat Ajaran Konfusianisme
TINJAUAN SEJARAH AJARAN KONFUSIANISME
Konfusius
adalah nama Latin dari K’ung Tzu atau Kong Hu Tzu atau biasa dibunyikan di
Indonesia dengan agama Kong Hu Cu. Dia dilahirkan di negeri Lu, yang saat ini
merupakan provinsi Shantung, pada tahun 551 SM dari sebuah keluarga yang
sederhana, jujur, dan setia berbakti kepada Thian.
Kurang
lebih setelah tiga tahun dari kematian Ibunya pada tahun 528 SM, dia
mengasingkan diri untuk belajar dan melakukan meditasi secara otodidak.
Pada
usia 50 tahun, dia memasuki kehidupan masyarakat umum sebagai seorang Guru,
kemudian ditunjuk menjadi Kepala Hakim di kota Chung-Tu, dan segera pula
diangkat menjadi Menteri Pekerjaan dan Pengadilan.
Keadilan
yang diterapkan oleh Konfusius secara tegas sehingga membuat negara menjadi
tenteram menyebabkan musuh-musuhnya semakin gencar untuh menjatuhkan dia dari
jabatannya, pada tahun 497 SM Konfusius terpaksa meninggalkan negerinya dan
pergi mengembara.
Selama
14 tahun dia pergi dari satu tempat ke tempat lainnya bersama para
murid-muridnya yang setia.
Hingga
akhirnya dia diidzinkan kembali ke negaranya pada usia 68 tahun. Dia
menghabiskan sisa umurnya untuk mengajarkan pahamnya dan meneliti
warisan-warisan lama. Sebelum dia meninggal, dia menghasilkan sebuah karya yang
disebut Ch’un-ts’in, Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur, dan akhirnya Konfusius
menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 470 SM.
Gambaran mengenai kehidupan dan kepribadian
seorang Konfusius terdapat dalam laporan-laporan para muridnya yang dihimpun
dalam Lun Yu (Analekta Kehidupan Konfusius), yang antara lain menyebutkan bahwa
Konfusius adalah orang yang mudah bergaul dan selalu tampak gembira, halus dan
teliti, hormat, menghargai orang lain dan lain sebagainya.
Dalam
ajarannya Konfusius tidak pernah berbicara tentang hal-hal yang metafisis dan
abstrak, keajaiban, kekuatan, atau masalah ketuhanan.
Tetapi
tidak ada keraguan-keraguan bahwa Konfusius percaya kepada Tuhan dan bahwa dia
adalah seorang monoteis yang etis. Dia sendiri percaya bahwa kehendak Tuhan
telah dibukakan untuknya dan karena itu misinya adalah membuat kehendak
tersebut berlaku di duinia ini.
Konfusius
juga percaya bahwa dunia ini dibangun atas dasar-dasar moral. Jika masyarakat
secara moral rusak, maka tatanan alam tersebut juga akan terganggu sehingga
terjadilah perang, banjir, gempa dan sebagainya. Dia juga percaya bahwa seseorang
itu asalnya adalah baik dan akan kembali ke sifat yang baik.
Menurutnya
orang juga tidak memerlukan juru selamat, tetapi yang dibutuhkan oleh umat
manusia adalah guru yang berbudi, dan melakukan dengan sungguh-sungguh
ajarannya, serta menjadi contoh teladan bagi orang-orang lain, seperti yang
telah diceritakan dalam Analekta 2:13 bahwa ‘Petama-tama dia memperaktekkan apa
yang dia ajarkan, dan kemudian mengajarkan apa yang dia peraktekkan’.
Konfusius
sendiri menyatakan bahawa dirinya adalah seorang guru seperti tersebut yang
diangkat oleh Tuhan.
Ajarannya
mengenai hal kesusialaan, Konfusius menekankan perasaan berkawan atau
timbal-balik, penanaman rasa simpati dan kerja
sama, yang harus dimulai dari lingkungan keluarga dan selanjutnya meluas
setingkat demi setingkat meluas kedalam bidang persekutuan yang lebih luas.
Dia
menekankan pentingnya lima hubungan manusia yang pokok yang sudah menjadi
tradisi masyarakat Cina pada waktu itu, yaitu :
1. Hubungan antara penguasa dan warga negara
2. Hubungan ayah dan anak lelaki
3. Hubungan kakak laki-laki dan adik laki-laki
4. Hubungan suami dan istri
5. Hubungan teman dengan teman
Konfusius
melihat timbulnya kekacauan di Cina karena pangeran tidak bertindak sebagai
pangeran, warga negara tidak bertindak sebagai warga negara, ayah tidak
bertindak sebagai ayah, dan seterusnya.
Menurutnya
langkah pertama ke arah transformasi dari dunia yang tidak teratur adalah
melakukan upaya agar setiap orang sadar akan tempatnya masing-masing, ‘Mungkin
perkataan atau perasaan timbal balik dapat berlaku. Jangan berbuat terhadap orang
lain, jika kamu tidak ingin orang berbuat terhadap kamu’(Analekta 15:24).
Selain
itu, Konfusius menyatakan bahwa kabijakan yang harus ditanamkan diatas semuanya
adalah sifat Jen yaitu sifat membersihkan hati manusia.
Aspek
tersebut bertujuan untuk mempertahankan cita-cita Konfusius yang menyangkut
penanaman hubungan manusia, perkembangan kemampuan manusia, menghaluskan
kepribadian sendiri, dan menjunjung tinggi hak-hak manusia.
‘Tujuan
Konfusius sendiri dalam menanamkan sifat Jen dalam diri manusia adalah agar
mampu mempraktekkan lima kebijaksanaan di dunia menurut pandangan Jen, lima
kebijaksanaan tersebut adalah menghormat, keluhuran budi, ketulusan hati,
ketekunan dan keramahtamahan’ (Analekta 17:16). Dia juga mengatakan bahwa Jen tercapai karena juga mencintai orang lain.
Dalam
ajaran Konfusius juga terapat tentang kenegaraan, yaitu memajukan kesejahteraan
rakyat sesuai denngan aturan-aturan Tuhan.
Salah
satu pandangannya adalah ‘Bimbinglah rakyat dengan aturan-aturan pemerintah dan
periksalah dan aturlah mereka dengan ancaman hukuman, dan rakyat akan berusaha
untuk tinggal di luar penjara, tetapi tidak mempunyai perasaan, hormat atau
malu.
Bimbinglah
rakyat dengan kebijaksanaan atau periksalah atau aturlah mereka dengan
aturan-aturan tentang kesopanan, dan rakyat akan mempunyai perasaan hormat dan
menghormati’. (Analekta 2:3).
TINJAUAN FILSAFAT AJARAN KONFUSIANISME
Aliran-aliran
filsafat Konfusianisme muncul sejak zaman kuno (600-200 SM), tepatnya bermula
setelah Konfusius meninggal dunia, para murid-murid Konfusius kemudian menempuh
jalan sendiri-sendiri dalam menyebar luaskan ajaran Konfusius.
Namun
karena mereka memberikan tekanan yang berbeda-beda pada ajaran guru mereka,
maka lambat laun muncul perbedaan-perbedaan yang semakin lama semakin membesar
karena masing-masing mengembangkan menggunakan sistem pemikiran sendiri sesuai
kepentingan dan keyakinannya, akibat dari hal tersebut muncullah berbagai macam
aliran konfusianisme, diantaranya :
A.
Konfusinisme
Yaitu suatu aliran yang terdiri dari orang-orang terpelajar
yang mempunyai keahlian di bidang kitab-kitab klasik. Kitab –kitab klasik yang
terpenting ada lima Wu Ching Chiang meliputi, jitab sejarah (Shu Ching), kitab
syair (Shih Ching), kitab perubahan (Ching), kitab adat (Li Chi), sejarah musim
semi dan musim gugur (Ch’un-ts’in). Selain itu pada zaman ini terdapat aliran
yang ajarannya berlawanan arah, yaitu :
1.
Ajaran-ajaran Mencius
Mencius atau Men Ko, adalah bentuk Latin dari nama Cina Meng
Tsu, Tuan Meng. Dia memberikan sumabangan yang sangat berarti terhadap ajaran
Konfusius, yaitu terletak dalam penekanannya pada pembawaan baik dalam sifat
manusia. Menurut pendapatnya, orang memiliki pembawaan yang baik sejak
diahirkan, yaitu :
·
Jen, artinya perikemanusiaan, murah hati,
kecintaan. Dalam hubungan antarmanusia, Jen diwujudkan dalam Chung dan Shu.
·
Yi, yaitu berbudi, keadilan atau kebenaran. Yi
berarti keadaan “yang seharusnya” terjadi, kurang lebih sama dengan imperatif
kategoris. Setiap orang memperlakukan sesama dengan kesusilaan dan bukan karena
pertimbangan lain.
·
Li, yaitu tindakan yang pantas, sopan santun,
sesuai dengan keadaan. Tindakan lahir harus dilakukan dalam harmoni dan keseimbangan.
Seorang yang luhur, mengetahui bahasa yang patut dipakai dan tingkah lakunya
sesuai dengan maknanya. Konfusius berusaha menyelaraskan kelakuan lahir dengan
keluhuran batin.
·
Zhi, yaitu kebijaksanaan. Pengetahuan diperoleh
dengan mempelajari fakta-fakta dan peristiwa fenomenal, tetapi kebijaksanaan
itu berkembang dari pengalaman batin. Yang paling bermutu dalam hidup adalah
kebijaksanaan.
·
Xin, yang berarti “percaya terhadap orang lain”.
Dalam pergaulan sehari-hari, Konfusius terlebih dahulu mendengarkan apa yang
dilakukan orang dan mempercayai perbuatannya, barulah sesudah itu ia
mendengarkan sendiri perkataan orang itu dan mengamati kelakuannya. Manusia
bersandar pada kata-katanya, berarti bahwa jika manusia konsisten dengan
kata-katanya maka dia layak dipercaya.
Problem yang mendapatkan perhatian khusus dari Mencius adalah
tentang pemerintah yang baik. Sebagai mana yang diajarkan Konfusius bahwa
pemerintah yang baik tidak bergantung pada kekuatan yang tanpa perikemanusiaan,
tetapi pada contoh yang baik yang dilakukan oleh sang penguasa. ‘semua orang
mempunyai hati yang tidak tahan bila melihat penderitaan orang lain. Raja-raja
kuno mempunyai hati yang haru ini, dan karenanya mereka juga mempunyai
pemerintahan yang bersifat haru.
Selanjutnya penguasa dunia itu sudah seperti memutar-mutarkan
barang ditelapak tangan saja’. Dari konsep tentang ‘pemerintahan yang baik ini’
muncul pengakuan Mencius tentang pentingnya peranan rakyat dalam pemerintahan.
Rakyat bukan saja akar dan dasar bagi pemerintahan tetapi juga merupakan
pengadilan terakhir bagi pemerintah yang tujuan utamanya adalah untuk mendidik,
memperkaya rakyat, dan memperbaiki kesejahteraan mereka secara menyeluruh.
2.
Ajaran-ajaran Hsun Tzu
Hsun Tzu adalah seorang yang tidak percaya terhadap Tien
(Tuhan) sebagai pribadi Tuhan. Menurutnya Tien hanyalah tidak lebih dari pada
hukum alam yang tidak berubah-ubah, dan semua perubahan alam semesta, seperti
gerakan bintang-bintang dan yang lainnya merupakan pekerjaan dari hukum yang
besar.
Hsun Tzu juga berpendapat bahwa yang bertangguang jawab atas
kehidupan diri manusia adalah manusia itu sendiri, termasuk juga kemakmuran
atau bencana alam yang menimpanya. Seperti yang dia katakan “Apabila sandang
dan pangan disimpan dengan cukup dan digunakan secara ekonomis, Tuhan tidak
akan dapat memiskinkan negara”. Dia juga menolak akan takhayul, seperti ramalan
mengenai nasibdan ilmu firasat.
Ide lainnya dari Hsun Tzu adalah bahwa sifat dasar manusia itu
jahat, dan bahwa kebaikan orang itu diperoleh dari lingkungannya. Dalam
hubungan ini dia membuat serangan langsung terhadap ajran-ajaran Mencius.
B.
Taoisme: Tao te Chia
Taoisme merupakan aliran falsafah penting di Cina sesudah
Konfusianisme. Bentuk ajarannya yang awal dinisbahkan kepada Lao Tze dan Yang
Chu. Tetapi sebagai faham falsafah, Taoisme baru dikenal pada abad ke-1 SM.
Yang pertama kali menyebut sistem ini sebagai madzab falsafah ialah Ssu-ma
Ch`ien dalam bukunya Shih Chi ( Rekaman Sejarah).
Sudah tentu sebelum abad ke-1 SM Taoisme telah berkembang dan
dasar-dasar pokok ajarannya telah dirumuskan oleh para pendirinya. Yang menjadi
persoalan hingga kini ialah siapa sebenarnya pengasas pertama Taoism.
Ada yang mengatakan Yang Chu (440-366 SM). Tetapi ada pula
yang memandang Lao Tze yang hidup sezaman dengan Kon Fu Tze. Perkiraan bahwa
orang pertama yang mengajarkan Taoisme adalah Yang Chu sebagian didasarkan pada
dugaan bahwa kitab Tao Te Ching baru disusun pada abad-abad kemudian, lama
sesudah wafatnya Lao Tze yang dipandang sebagai penulis kitab induk Taoisme.
Tetapi beberapa sarjana seperti Creel meragukan bahwa ajaran
Yang Chu benar-benar bercorak Taois, Creel sependapat dengan kebanyakan sarjana
sastra Cina yang meyakini bahwa pendiri Taoisme adalah Lao Tze. Yang diajarkan
Yang Chu hanyalah semacam naturalisme mistis, yaitu persatuan manusia dengan
alam.
Namun ajaran itu tidaklah lengkap sebagaimana ajaran Lao Tze.
Dalam falsafah naturalismenya Yang Chu, sebagaimana Lao Tze sebelumnya,
mengajarkan perlunya hidup bersahaja dan selaras dengan alam. Ia menolak hedonisme
material yang merajalela pada zamannya.
Sebagai sistem falsafah, Taoisme sering dianggap sebagai
falsafah mistik, bahkan sebagai salah satu bentuk mistisisme tertua di dunia
yang berpengaruh hingga abad ke-20. Ia berbeda dari Konfusianisme yang menekankan
pada persoalan manusia sebagai anggot sosial, kehidupannya dalam etika dan
politik.
Taoisme menaruh perhatian besar terhadap persoalan metafisika
dan persatuan mistikal antara manusia dengan alam. Sebagai ajaran falsafah,
Taoisme dirumuskan secara mantap oleh Chuang Tze, penafsir Tao Te Ching, kitab
falsafah berbentuk puisi yang dinisbahkan kepada Lao Tze sebagai pengarangnya.
Sebagai ajaran falsafah, Taoisme dimulai dengan skeptisisme.
Skeptisisme ini timbul dari kekecewaan terhadap keadaan masyarakat dan situasi
politik di Cina pada abad ke-5 M. Pada masa itu banyak sekali peperangan dan
pembrontakan. Korupsi dan penyelewengan merajalela. Raja-raja, bangsawan dan
panglima-panglima perang hidup penuh kemegahan dan kemewahaan di atas
kesengsaraan rakyat.
Menurut para penganut Taoisme, peradaban hedonistis dan
materialistis telah merusak kehidupan manusia. Untuk memulihkan peradaban yang
sedang sakit manuia perlu kembali kepada alam dan menyatu dengan alam.
Pernyataan kekecewaan itu tampak dalam sindiran Chuang Tze:
“Bekerja membanting tulang seumur hidup tanpa pernah melihat hasilnya, dan
bersusah payah bekerja keras tanpa mengetahui apa yang akan dihasilkan –
bukankah yang demikian itu sangat menyedihkan? (Legge 1927: I.390.)
Tampaknya Taoisme merupakan sistem falsafah yang mengajarkan
pesimisme. Namun hal ini disangkal oleh banyak ahli sejarah falsafah Cina.
Justru menurut mereka adalah sebaliknya, Taoisme malah mengajarkan optimisme.
Tetapi sebelum kita membahas sistem falsafah ini sepatutnya kita mengetahui
dulu beberapa istilah dan konsep kunci yang dikemukakan para penganjurnya.
Ø Tao
atau Jalan Kebajikan :
Tao berarti jalan yang dilalui seseorang dalam perjalanannya
kehidupannya. Konfucius memberi arti sebagai jalan atau cara bertindak yang
benar dan penuh kebajikan dalam kehidupan moral dan politik. Dalam pengertian
ini kata-kata Tao tidak mengandung makna metafisik. Bagi Lao Tze berbeda, tao
memiliki pengertian metafisik.
Lao Tze mengartikannya sebagai asas yang menyusun segala
sesuatu. Ia sederhana, tanpa bentuk, tanpa gerak, tanpa hasrat, tanpa upaya. Ia
ada sebelum adanya langit dan bumi. Karena adanya penciptaan dan berkembangnya
peradabam, manusia kian jauh dari Taom jalan yang benar dan penuh kebajikan
spiritual. Karena itu manusia semakin jauh dari kebahagiaan.
Tao ibarat kendi penuh walau pun kosong. Darinya orang dapat
menimba air tak habis-habisnya dan tidak perlu mengisinya lagi. Demikian ia,
begitu luas dan alam tidak terhingga. Tidak tampak yang paling tua di antara
adanya. Semua karam di dalamnya, pucuknya sekalipun rata di sana.
Perkara-perkara paling rumit pun sirna.
Cahaya kemilau rata menyebarkan keriangan. Segala yang
mustahil kembali menuju kesederhanaan. Setenang alam baka ia. Tak tahu aku
putra siapa dia.
Huruf Cina untuk Tao terdiri dari ‘kepala’ yang melambangkan
orang yang mengetahui dan pada bagian lain terdapat simbol orang yang sedang
melakukan perjalanan. Setelah berkembangnya ajaran Lao Tze, ia diberi arti
sebagai jalan atau asas bekerjanya alam semesta dan dunia dalam perputaran
kehidupan.
Dalam perjalanan atau perputaran itu, tammpak tanda-tanda
menuju ke arah Hakikat asal, dari mana segala sesuatu bergerak kembali.
Tao kadang merupakan kata kerja dan kata benda, misalnya dalam
baris pertama sajak pertama Tao Te Ching. Jalan ( Tao ) yang dapat dijalani
atau ditempuh bukan jalan abadi Nama yang dapat diberi nama bukan nama yang
sesungguhnya, Tao juga diberi makna sebagai Deitas, yaitu keadaan Sang Pencipta
sebelum turun ke alam penciptaan.
Ø Te
atau Kebajikan :
Te diberi arti kebajikan, watak, pengaruh dan kekuatan moral.
Huruf untuk kata Te tersusun dari ideograf :
·
Pergi
·
Tegak
·
Gambar yang berarti Hati.
Secara bersama-sama
artinya ialah dorongan yang digerakkan oleh keteguhan batin. Dalam kamus bahaa
Cina abad ke-2 M Shuo Wen chieh Tzu ( Keterangan mengenai kata-kata dan
analisis huruf Cina), Te juga ditaksirkan sebagai ‘pengaruh lahir seseorang dan
pengaruh batin dari diri’. Berdasarkan arti ini kemudian Te dipahami sebagai
kebajikan rohani, falsafah, hikmah atau kearifan yang tinggi.
C.
Aliran Yin Yang: Yin Yang Chia
Yaitu suatu aliran yang dipelopori oleh orang-orang yang pada
mulanya mempunyai kedudukan penting dalam istana. Mereka itu ahli nujum dan
ilmu perbintangan, kemudian mereka menawarkan keahliannya kepada masyarakat.
Aliran ini pengaruhnya sangat besar di kemudian hari, bahkan secara tidak
langsung dapat dirasakan dewasa ini.
Menurut pandangan orang cina Yin dan Yang merupakan dua
prinsip pokok di alam semesta.Yin adalah prinsip jantan seperti; bumi, bulan,
air, hitam, kepasifan dan lain sebagainya. Sedangkan Yang adalah jika
digabungkan akan memberikan pengaruh yang timbal balik dan akan terjadilah
semua peristiwa-peristiwa yang terdapat di alam semesta.
Yin dan Yang merupakan dua prinsip yang berlainan bukan
berlawanan secara kontradiktur, namun keduanya merupakan dua hal yang saling
mengisi dan melengkapi.
D.
Mohisme atau Mo Chia
Yaitu suatu aliran yang terdiri dari kelompok kaum ksatria
yang telah kehilangan kedudukannya. Mereka menawarkan keahliannya di bidang
peperangan kepada penguasa baru. Tokoh dari Mo Chia adalah Mo Tzu (479-381 SM).
Mohisme mempunyai disiplin yang ketat, hal itu karena adanya
pengaruh dari tokohnya Mo Tzu yang menuntut kepada murid-muridnya agar taat
kepada gurunya. Sikap Mo Tzu ini sedikit banyak dipengaruhi oleh keluarganya
yang berlatar belakang militer. Aliran mohisme ini di kemudian hari dikenal
sebagai aliran yang utilitaristis.
E.
Dialektisime atau Ming Chia
Aliran Dialektisi dikenal juga dengan sebutan aliran nama-nama
(Scholl of Names). Aliran ini dipelopori oleh orang-orang yang ahli dalam
bidang debat dan pidato. Mereka menyalurkan kepandaiannya kepada rakyat.
Mazhab ini tertarik dengan adanya perbedaan antara apa yang
mereka sebut dengan ‘nama-nama’ (names) dengan ‘fakta yang nyata’
(actualities).
F.
Legalisme:
Fa Chin
Yaitu suatu aliran yang dipelopori oleh orang-orang yang ahli
didalam bidang pemerintahan, mereka menawarkan kepandaiannya kepada para
penguasa di berbagai daerah. Mereka menjadi penasihat-penasihat pemerintah dan
mengajarkan teknik-teknik pemerintahan serta hukum-hukum.
Selanjutnya pada periode Chi (221-207 SM), munncul reaksi yang
kuat terhadap kebebasan berpikir yang timbul pada tahun-tahun sebelumnya.
Adalah kaisar Shih Huang Ti yang sangat berperan dalam reaksi ini, dia
mengontrol dan mengawasi pikiran rakyatnya dengan keras, membakar seluruh
tulisan pemikiran yang ada kecuali tulisan yang menyangkut obat-obatan,
ketuhanan dan pertanian.
Akibatnya sejumlah besar buku-buku yang nenuat ajarab
Konfusius dibakar dan tidak kurang dari 460 sarjana dibunuh. Namun akhirnya
reaksi tersebut berakhir setelah periode selanjutnya yaitu pada masa dinasti
Han (206 SM-220M), kebasan berpikir muncul kembali dan Universitas Cina pertama
didirikan dengan maksud meneruskan cara-cara suci para penguasa kuno dan
mencapai kemajuan moral dan intelektual kekaisaran.
Ajaran asli Konfusianisme dihidupkan kembali bukan hanya
sebagai pemikiran filsafat, tetapi sebagai agam yang penuh dengan aspek-aspek
sepiritual, moral dan kultural.
Tokoh utama dalam gerakan ini adalah Tung Chuang Shu yang
berpendapat bahwa keunggulan manusia dibandingkan makhluq-makhluq lainnya
adalah terletak dalam kapasitasnya untuk menerima wahyu dari Tuhan dan
membentuk tindakan-tindakan dan sifat-sifatnya sesuai dengan wahyu tersebut.
Di masa permulaan dinasti Han ini Konfusianisme dipastikan
mencapai kejayaannya, namun kamudian terdapat pertentangan yang tajam di
kalangan para pemikir ajaran Konfusius tentang penafsiran dari buku-buku klasik
dan status Konfusius sendiri.
Di satu pihak muncul golongan yang meningkatkan Konfusius
sampai pada setatus Tuhan Penyelamat, sementara dilain pihak ada golongan yang
tetap memperthankan paham lama bahwa Konfusius hanyalah seorang nabi atau guru.
Selama periode ini golongan yang meningkatkan Konfusius sampai
kepada Tuhan Penyelamat berpengaruh
besar, sehingga pada permulaan tahun 59 M ditetapkan cara-cara untuk memuja
Konfusius, termasuk memberikan korban kepadanya di semua lembaga pendidikan
yang dikelola oleh pemerintah, dengan demikian Konfusius meningkat menjadi
semacam ‘Dewa Pendidikan’ pada saat itu.
Keruntuhan dinasti Han diikuti denagan suatu periode kekacauan
moral yang berkepanjangan di Cina, Ajaran Konfusius sendiri kehilangan tempat
dikalangan intelek yang beralih kepada ajaran Tao dan Budhisme, tetapi proses
pendewaan Konfusius masih berlanjut.
Hingga pada abad pertengahan muncullah aliran Li Hsuch Chia
atau Neo Konfusianisme, sekalipun para pengikut aliran ini adalah intelek dan
murid-murid sepiritual Konfusius tetapi pengikutnya tidak berusaha
memperthankan atau membangkitkan kembali ajaran yang murni dari Konfusius
tetapi hanya melakuan revisi terhada sistem etika, moral dan kepercayaan lama
berdasarkan perkembangan-perkembangan baru, hal itu terjadi karena pola pikir
mereka pada umumnya ditentukan oleh spekulasi para pengajar aliran Chan
dan Zen.
0 comments:
Post a Comment