6:33 PM -
Essai
No comments


Fakta Ironi Lingkungan di Kota Bandung
Kota Bandung kini sudah
menjelma menjadi salah satu metropolitan
di Indonesia. Tentu banyak faktor yang
membuat kota berjuluk Paris Van Java ini berubah wajah diusianya yang sudah mengijak
2 abad lebih, tepatnya berusia 208 tahun.
Kota yang dikenal sebagai
tempat yang sejuk nan asri siapa sangka
akan menjadi sosok menakutkan bagi para penghuninya. Faktanya kerusakan
lingkungan terjadi di seluruh penjuru kota. Rata-rata warga kota memprotes atas kerusakan lingkungan kepada para
wakil rakyat. Pertanyaannya, siapa yang
merusak lingkungan? Siapa yang tidak peduli lingkungan? Siapa yang merasakan
akibatnya? Istilah yang cocok untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Perlu disadari oleh
seluruh penghuni kota Bandung bahwa kesadaran menjaga lingkungan bukan sekadar
motto tetapi harus dilaksanakan menurut aturan, tidak sulit mematuhi aturan
selagi kita ingin menjaga lingkungan tetap bersih dan tertib.
Salah satu contoh kerusakan
lingkungan di kota berpenduduk 3 juta jiwa pada siang hari ini, adalah sampah yang menumpuk pada sejumlah
sudut kota, ironisnya sampah-sampah itu menggunung di samping tempat pembuangan
sampah yang disediakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang kebanyakan justru
tidak dipakai. Namun kurangnya kesadaran masyarakat sekitar membuat sampah
tersebut tergeletak bukan pada tempatnya, padahal pemerintah kota telah
menyediakan tempat sampah di sepanjang jalan raya namun dirusak begitu saja
oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Jadi mereka membuang
sampah di pinggir jalan dengan alasan tidak tersedianya tempat untuk membuang
sampah padahal alasan tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada. Sampah
yang seharusnya dipisahkan sesuai penggolongannya (organik dan anorganik) malah
digabungkan dalam satu kantong plastik dan dibiarkan begitu saja menunggu
petugas kebersihan mengambilnya.
Contoh di tempat lain adalah
sampah yang membusuk di tempat yang tergenang air, hal ini dapat memicu
populasi nyamuk sehingga menimbulkan penyakit. Namun belum banyak warga yang
sadar akan hal ini.
Pemilihan dan pemilahan
sampah organik dan anorganik memang perlu dijaga guna mengetahui penguraiannya.
Masalah lain karena sampah terjadi di lingkungan pendidikan, logikanya masih
saja orang yang mengenyam pendidikan membuang sampah bukan pada tempatnya
seperti di sudut kelas atau di bawah meja. Tentu ini bukan etika yang baik
dalam pendidikan, namun faktanya memang seperti itu adanya.
Jika berpikir
menggunakan logika, beberapa tempat di kota Bandung melakukan hal yang sama,
bayangkan seluruh warga kota Bandung membuat sampah di pinggiran jalan atau di
pinggiran sungai. Akan seperti apa wajah kota Bandung di masa yang akan datang?
Cerminan ini memang sudah menjadi kebiasaan turun temurun bagi warga masyarakat yang
sangat sulit dihentikan karena sudah mendarah daging.
Ini menjadi pelajaran
khususnya warga kota Bandung bahwa pentingnya untuk menjaga lingkungan dan
kesadaran masyarakat mengenai kebersihan lingkungan harus segera diterapkan. Walaupun
program peduli lingkungan sudah marak diterapkan namun masih saja ada orang
yang cuek.
Ditinjau dari segi
pendidikan, gerakan peduli lingkungan atau lebih dikenal dengan istilah Program Adiwiyata telah dilakukan di
beberapa sekolah. Namun ada sesuatu yang menjadi ganjalan bagi program
tersebut. Pertanyaan-pertanyaan logis muncul dari mulut para siswa yang
bersekolah di salah satu sekolah yang menerapkan Program Adiwiyata, salah
satunya adalah “Beberapa sekolah berlomba-lomba membersihkan lingkungan agar
lingkungan bersih atau mengejar gelar sebagai sekolah Adiwiyata tingkat kota
Bandung?”
Di satu sisi program ini
membangkitkan semangat peduli lingkungan tapi di sisi lain bisa saja hanya
ingin mendapatkan gelar. Coba saja jika tidak ada paksaa program ini, apakah
warga bisa dengan mandiri bergotong royong memberantas sampah itu? Mungkin belum
tentu.
Yang menjadi masalah
utama kerusakan lingkungan bukan hanya karena banyak pabrik berdiri atau lahan
yang dijadikan perumahan, tapi kita mulai dari diri sendiri. Kesadaran peduli
lingkungan warga Indonesia menjadi nomor sekian dari seluruh negara di dunia.
Apakah manusia diciptakan untuk
merusak lingkungan? Dimana manusia akan tinggal setelah seluruh tempat rusak
dan tidak layak untuk ditinggali? Lalu apakah sependek itu pikiran mereka yang
membuang sampah ke sungai, di bawah pohon, di atas jembatan? Dan siapa yang
akan bertanggung jawab? Sangat minim orang yang berpikir sampai ke sana.
Seharusnya warga
terancam dengan semua itu, bisa saja persediaan air bersih akan habis atau
oksigen dari pepohonan akan berkurang.
Dalam peringatan hari
jadi kota Bandung kemarin sangat ditekankan untuk berbudaya lingkungan karena
kita bisa membandingkan bagaimana Bandung yang dulu dan saat ini.
Warga kurang bisa
membaca kalimat dalam foto tersebut sehingga sampah tetap menggunung di tepi
sungai maupun di aliran sungai.
Berkaitan dengan masalah
sungai, ini hanyalah salah satu sungai yang tercemar dari sekian banyak sungai
di Bandung. Ditambah limbah dari berbagai pabrik dialirkan ke sungai yang
muaranya sama. Sangat disayangkan anugrah dari Tuhan terbuang sia-sia akibat
pencemaran yang kita lakukan sendiri namun banyak ego masyarakat yang keukeuh tidak mau mengakui kesalahannya.
Intinya, jika ingin lingkungan bersih kerjasamalah dalam program peduli
lingkungan.
0 comments:
Post a Comment