6:05 PM -
Essai
No comments


Pentingkah Mata Pelajaran Sulit di Sekolah Dasar?
Oleh : Nadita Dewi
Profita
Mulai tahun ajaran 2013/2014
kurikulum yang diberlakukan di Indonesia adalah Kurikulum 2013 atau lebih
populer dengan sebutan Kurtilas, kurikulum ini memang agak lama dan ketat waktu belajarnya
tentu dengan segala aspeknya. Memang belum semua Sekolah melaksanakan kurikulum
yang baru ini. Dalam kurikulum ini siswa dituntut untuk aktif dalam proses
pembelajaran. Mata pelajaran yang harus diikuti pun lebih banyak dibanding
sebelumnya, sehingga membuat sebagian
siswa kewalahan untuk mengikutinya.
Dilihat dari segi mata
pelajaran, kurikulum 2013 untuk Sekolah Dasar (SD) cukup mengejutkan. Faktanya,
siswa yang masih duduk di jenjang sekolah dasar tersebut harus mengikuti banyak
mata pelajaran, salah satunya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Sebagian orang
beranggapan bahwa kurikulum ini baik untuk perkembangan siswa/i di Indonesia.
Namun apa jadinya jika murid SD tidak mengutamakan pendidikan moral dan sopan
santun bagi siswanya?
Demikian pentingkah ilmu-ilmu
tersebut sudah harus diberikan di jenjang sekolah yang paling dasar tersebut ?
Dengan umur yang masih terbilang kanak-kanak, jiwa yang seharusnya bermain
disita oleh waktu belajar yang kurang tepat bagi pikiran mereka.
Bayangkan siswa kelas 2
SD belajar mengenai akar pangkat dalam matematika. Atau belajar sistem
peredaran darah di Ilmu Pengetahuan Alam. Fakta lain mengatakan siswa yang akan
masuk SD dituntut untuk bisa membaca dan menulis terlebih dahulu. Bisa saja anak
yang akan masuk ke SD tersebut telah belajar di Taman Kanak kanak (TK). Namun
fungsi dari TK itu sendiri adalah belajar bersosialisasi dengan banyak orang
dari berbagai tempat, bukan untuk belajar menulis dan membaca. Dilihat dari
penerapannya, kurikulum yang dianggap bagus itu justru membuat daya tangkap
anak menjadi tidak pada tempatnya.
Lalu keterampilan apa
yang akan mereka kuasai dan yang akan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,
mereka terlalu dipaksa untuk berpikir abstrak dengan ilmu ilmu yang harus
dipelajarinya, dimana waktu bermain untuk mereka ?
Sebagai perbandingan, kurikulum
SD di Jepang dibuat sederhana, dengan memperkuat nilai-nilai moral, cara menghargai diri sendiri dan orang
lain, serta mengajarkan Keterampilan, Budaya dan Bahasa Nasional. Mereka juga
belajar keterampilan menjahit, memasak, seni menggambar dan sebagainya. Ini
jelas bertolak belakang dengan kulikulum Sekolah Dasar di Indonesia. Bahasa
Asing di Indonesia telah dikenalkan di bangku kelas 3 SD. Tentu ini menjadi
problematika dalam asupan ilmu. Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah terbengkalai
begitu saja, bisa saja puluhan tahun kemudian Bahasa Daerah anak musnah karena
tidak dipakai. Dan keterampilan mereka pun kurang, dalam kreatifitasnya, usaha
untuk menggunakan kembali barang bekas. Yang kita tahu bahwa barang yang sudah
tidak terpakai tentu akan dibuang, dan apakah membuangnya di tempat yang benar?
Siswa yang seharusnya
belajar mengenai tata krama, etika, sopan santun dan lingkungan cenderung
mempelajari Ilmu yang belum menjadi porsi usianya. Alhasil, cara mereka
berbicara kepada guru pembimbing, teman seusianya atau kepada orang tua tidak
pada tempatnya juga. Cara memperlakukan lingkungan pun kurang baik, mereka
membuang sampah di bawah meja, di kamar mandi, atau merusak tanaman. Ini
terjadi karena ilmu berbudaya lingkungan tidak dibahas.
Logikanya, siswa yang
sedang duduk di bangku SD sedang mencari jati diri untuk pembentukan karakter,
jika sekolah tidak membantu membangun karakter itu maka mempengaruhi karakter
siswa tersebut di masa depan.
SD saat ini cenderung
memperhatikan ilmu pengetahuan yang rumit dengan harapan siswa/i bisa mengikuti
mata pelajaran di jenjang berikutnya di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun,
ada yang mereka lupakan, nilai moral dan budaya. Jika sudah lulus dari tingkat
Sekolah Dasar apakah masih mudah membentuk karakter? Kemungkinannya kecil.
Sebagian besar sekolah
memberi peraturan dan tata tertib yang cukup banyak, namun jika tanpa didasari
oleh kesadaran apakah bisa dipatuhi? Kembalikan ke Sekolah Dasar. Sekolah Dasar
tentu harus mendasar, bukan Menengah. Apalagi saat ini yang sedang
digembor-gemborkan adalah program ‘Adiwiyata’, yaitu program yang mendorong
warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan. Masih jarang sekolah di Indonesia
yang mengikuti program ini, apalagi untuk Sekolah Dasar. Hanya sebagian daerah
yang mengajarkan pendidikan lingkungan hidup, namun para siswa masih belum
mengerti makna dari mata pelajaran tersebut sehingga lingkungan semakin
terbengkalai.
SD merupakan sekolah bermain sambil belajar, namun tetap pada
garis batasnya. Bayangkan jika terlalu banyak bermain ketika telah tumbuh
dewasa karakternya seperti apa?
Kita tahu bahwa saat ini
tingkat kesulitan mata pelajaran semakin membebani pelajar dengan tugas yang
menggunung sehingga waktu istirahat dan berkumpul bersama keluarga semakin
sempit, selain itu banyak keluhan karena pengeluaran biaya dari tiap tugas. Bayangkan
anak SD diberi tugas untuk membuat Power Point dengan materi yang terbilang
berat sehingga orang tua pun angkat bicara kepada pihak sekolah. Lalu, jika setelah
begini siapa yang harus dinyatakan bersalah? Pada keyataannya kurikulum yang
kurang baik membuat berbagai pihak merasa dirugikan.**
Profitadewinadita@gmail.com
Nadita
Dewi Profita
Mahasiswa
STBA YAPARI-ABA Bandung
0 comments:
Post a Comment